Juwana, kompasindonesianews.com - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyegel 100 ton ikan salem impor milik PT. SSI yang diduga sem...
Juwana, kompasindonesianews.com - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyegel 100 ton ikan salem impor milik PT. SSI yang diduga sempat beredar tidak sesuai peruntukan di pasar tradisional Porda Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah sehingga harga ikan lokal turun dan menyebabkan nelayan merugi.
Penyegelan ini merupakan langkah cepat KKP melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Ditjen PSDKP) menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai banyaknya ikan salem impor di pasaran.
Hal ini dilakukan dalam rangka melindungi nelayan atas produksi tangkapannya yang dijual dipasaran sesuai UU Nomor 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, agar produk importasi perikanan ikan Salem dari Tiongkok tidak menggangu pasar lokal dan hanya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri pemindangan.
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Laksda TNI Dr. Adin Nurawaluddin, M.Han menyatakan bahwa PT. SSI terindikasi kuat melakukan pelanggaran dalam berkegiatan usaha di bidang perikanan.
Ikan impor yang seharusnya dijadikan sebagai bahan baku pemindangan, justru dijual langsung ke pasar.
“Sesuai dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan PP 5 Tahun 2021, karena PT. SSI telah melakukan kegiatan usaha tidak sesuai dengan kegiatan usahanya, maka operasional PT. SSI untuk sementara kami hentikan”, tegas Adin yang memimpin langsung kegiatan penyegelan di Gudang PT. SSI di Juwana pada Minggu (5/3).
Sebelum terjun melakukan penyegelan secara langsung, Adin telah mengerahkan jajarannya di Direktorat Pengawasan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan (PPSDP) dan Satuan Pengawas (Satwas) SDKP Pati untuk melakukan pengumpulan bahan dan keterangan (pulbaket) terhadap berbagai pihak yang terkait dalam kasus tersebut.
“Hasil pulbaket petugas di lapangan, PT. SSI rupanya telah melakukan kegiatan jual beli hasil perikanan dan usaha penyimpanan ikan tanpa dilengkapi Klasifikasi Baku Lapangan usaha di Indonesia (KBLI) yang sesuai dan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP)”, ungkap Adin.
Adin menambahkan bahwa, hasil wawancara petugas terhadap para pedagang, ikan salem impor yang seharusnya diperuntukkan hanya untuk pemindangan tersebut, dijual pedagang secara eceran di Pasar Porda Juwana dengan harga Rp. 17.000 sampai Rp. 20.000,- per kg.
Harga tersebut lebih murah bila dibandingkan dengan ikan mayoritas hasil tangkapan nelayan lokal (Ikan Layang, Ikan Banyar/Kembung) yang dijual dengan harga Rp. 22.000 sampai Rp. 29.000,- per kg.
Para pedagang mengaku mereka memperoleh ikan salem impor dari gudang PT. MLI.
“Berdasarkan penelusuran di lapangan, keberadaan ikan Salem impor di pasaran menurunkan nilai jual ikan lokal hingga 10% dan hal ini berdampak langsung pada perekonomian nelayan”, tegas Adin.
Selanjutnya informasi yang didapat dari hasil penelusuran terhadap PT. MLI, pemilik ikan salem impor di Gudang PT. MLI adalah milik PT. SSI.
Saat dilakukan penyegelan, masih terdapat sekitar 100 ton ikan impor di gudang es (cold storage) yang diduga berasal dari Tiongkok untuk kebutuhan pemindangan. Menurut pengakuan PT. SSI, ikan salem impor tersebut dibeli dari PT. STKP dan K yang berdomisili di Jakarta.
“Setelah ini akan kami lakukan penelusuran lebih lanjut apakah memang ditemukan adanya dugaan pelanggaran ketidaksesuaian peruntukan impor pada PT. STKP dan K”, ujar Adin.
Lebih lanjut, Adin menyampaikan bahwa pengawasan peruntukan importasi komoditas perikanan akan terus dilaksanakan terhadap sejumlah 204 perusahaan importir, yang memperoleh persetujuan rencana kebutuhan importasi komoditas perikanan untuk selain bahan industri dari Ditjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, KKP.
Hal ini sejalan dengan kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono yang terus berupaya memastikan kegiatan impor produk perikanan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga tidak merugikan nelayan dan pembudidaya, serta industri perikanan dalam negeri. (Adhit)